Monday 25 February 2013

Catatan Perjalanan Melihat Tangkis Laut Misterius

Keindahan pantai berpadu tangkis laut yang misterius


Penasaran. Itulah reaksi pertama saya kala ada teman mengabarkan, ada “jembatan” yang tiba-tiba muncul di tengah laut. Bayangan saya saat itu, “jembatan” itu muncul dan menghubungkan dua pulau atau setidaknya dapat dilalui dari daratan menuju tengah laut meskipun tidak sampai menghubungkan dua pulau atau daratan. Namun istilah “jembatan” seiring derasnya informasi, khususnya dari jejaring sosial tidak lagi pas. Melihat gambar-gambar yang di-upload di laman facebook oleh beberapa teman misalnya memperlihatkan tumpukan batu-pasir dari ukuran besar hingga kecil menumpuk dan memanjang mengikuti garis pantai. Tentu istilah jembatan tidak lagi sesuai. Beberapa istilah pun muncul.
Dari pemberitaan yang ada, baik cetak, elektronik ataupun kabar dari mulut ke mulut bermunculan istilah-istilah yang tidak sama. Beberapa media menyebut tangkis laut, ada yang menambahi tangkis laut ajaib, sementara ada warga lokal (disamping istilah jembatan tadi) menyebut “takat” (gunung laut), bahkan salah satu media online nasional menyebut dengan “pulau ajaib”, termasuk ada juga yang menyebut sebagai “pulau karang aneh”. Mayoritas sumber pemberitaan itu menyertakan istilah-istilah seperti aneh, ajaib, misterius, dan mengait-ngaitkan dengan hal-hal mistis dan supranatural.
Rasa penasaran tetaplah membuncah, apalagi tempat saya bekerja termasuk dekat dengan lokasi yang apapun namanya itu, yakni di pulau Kangean, tepatnya rumah kontrakan saya di Kecamatan Arjasa. Sementara lokasi –untuk selanjutnya saya akan menyebut tangkis laut—itu berada di Kampung Tembang Desa Buddhih Kecamatan Arjasa. Rasa penasaran itu akhirnya terjawab setelah ada ajakan dari UPT Pendidikan Kec. Kangayan untuk mengunjungi tangkis laut itu. Tak kurang dari 20 orang ikut dalam petualangan itu, diantaranya Kepala UPT Pendidikan, Pengawas TK/SD dan sejumlah guru dan Kepala Sekolah SDN Kec. Kangayan. 
Start point dimulai dari Desa Angon-Angon Arjasa, meski ada beberapa peserta yang langsung berangkat dari rumahnya. Jam digital di layar ponsel menunjukkan angka 07.20 WIB. Menggunakan sepeda motor kami menarik gas dengan kecepatan sedang, antara 40-60 km/jam menuju titik point ke-dua, Sungai Bato-Bato (batu-batu). Perjalanan melewati bebukitan dengan kondisi jalan darat khas kepulauan yang rusak parah. Pengendara sepeda motor harus pandai-pandai meliuk-liukkan badan, bermanuver menghindari lubang-lubang di jalanan yang beraspal tipis—tentang jalan ini. Banyak orang Kangean mengeluh dan mengharap, kapan mereka dapat jalan ber-hotmix seperti jalan raya di Sumenep.
Melintasi sungai bato-bato. Airnya kekuningan
Pada angka 08.17 WIB kami tiba di Sungai Bato-Bato, ternyata sungai ini berfungsi sebagai pelabuhan untuk perahu-perahu ukuran kecil dan sedang sebagai transportasi penghubung antar pulau-pulau kecil dengan pulau Kangean. Suasana pelabuhan lebih ramai dari biasanya. Bisa ditebak, disamping warga lokal yang biasa menggunakan jasa perahu untuk bepergian, ada puluhan orang yang juga berniat mengunjungi tangkis laut itu. Memang sejak kemunculan tangkis laut itu, banyak masyarakat, khususnya warga Kangean sendiri datang berduyun-duyun demi menjawab rasa penasaran mereka, seperti juga saya saat ini.
 Rupanya tidak semua peserta datang tepat waktu. Kami harus menunggu beberapa teman yang belum datang. Kordinator rombongan mencari perahu carteran untuk perjalanan selanjutnya. Sebenarnya dengan perahu ukuran agak besar, dari pelabuhan ini bisa langsung menuju ke lokasi. Namun kami mendapatkan perahu ukuran kecil, sehingga diputuskan bahwa harus transit dulu di Desa Pajenangger. Menurut salah seorang teman yang berpengalaman, dengan transit di Pajenangger, jarak tempuh sebenarnya akan lebih pendek. Sebab jika langsung dari pelabuhan ini, perahu akan bergerak sedikit memutar menyisir pantai selatan pulau kangean yang dipenuhi dengan ceruk dan tanjung ditambah dengan pulau-pulau kecil berbatu karang yang tidak bisa dilewati perahu. Atau bahkan perahu harus bergerak lebih ke tengah jika air kebetulan surut.
Pada angka 09.15, mesin diesel perahu dinyalakan dengan “engkol” tangan. Baling-baling berputar dan mendorong pelan perahu kecil dengan 20 penumpang plus satu sepeda motor. Sungai Bato-Bato adalah sungai muara yang dangkal dengan air kekuningan. Di sisi kanan-kiri dipenuhi tumbuhan bakau. Anehnya meski bernama Sungai Bato-Bato yang artinya sungai batu-batu, saya tidak melihat adanya batu atau sejenisnya di sepanjang sungai ini. Tidak ada yang menarik dari sungai ini.
Lepas dari sungai, pemandangan laut dengan gugusan pulau-pulau kecil nan eksotis menyihir mata. Mulut tidak henti-henti melafalkan pujian-pujian ketakjuban akan keindahan pulau-pulau ini. Air laut yang tenang, biru dan jernih. Sesekali ikan-ikan melompat-lompat di atas air. Perahu kecil yang membawa kami melaju pelan. Mungkin karena kelebihan muatan. Tapi saya tidak kwahatir perahu ini akan tenggelam. Laut begitu tenang berkawan. Selang satu jam, tepatnya pada angka 10.58 perahu sandar di pelabuhan kecil di sisi utara desa Pajenangger, Arjasa. Keindahan panorama alam; laut di bawah ditingkahi pulau-pulau kecil dan latar pengunungan pulau Kangean di utara masih menghipnotis mata saya. Indah nian. Udaranya segar. Air lautnya bersih. Dan ikan-ikan berenang dengan damai. Langit cerah. Benar-benar sempurna.
Tak banyak yang bisa saya tuliskan tentang desa Pajenangger ini. Sebuah desa yang biasa. Terbelakang. Tidak ada sinyal ponsel. Kecuali lautnya yang eksotis, tidak ada yang menarik. Dari Pajenangger, kami harus lewat jalur darat dulu. Menaiki mobil pick-up selama kurang lebih satu jam, akhirnya kami diturunkan di kampung Bugis, masih masuk desa Pajenangger. Karena jam sudah menunjuk angka 12.06, rombongan akhirnya sepakat untuk shalat dhuhur dulu. Selepas shalat dhuhur perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu. Dan kami mendapatkan perahu yang lebih kecil dari yang sebelumnya. Terpaksa rombongan dipecah menjadi dua. Dan perahu yang terbuat dari fiber itu harus mengangkut kami dua kali. Saya termasuk rombongan ke dua. Dan harus menunggu hampir satu jam sampai perahu itu kembali dari mengantar rombongan yang pertama.
Sang “kapten” perahu yang berdarah bugis itu, sempat bercerita bahwa, tangkis laut itu memang muncul secara tiba-tiba dalam satu malam. Pada malam hari, di tanggal 18/1, terdengar bunyi-bunyian yang tidak biasa di tengah laut. Warga sekitar yang sedang mencari ikan menduga, bunyi itu lantaran cuaca ekstrem yang memang terjadi saat itu. Dan, keesokan harinya, muncullah tumpukan bebatuan yang kemudian disebut jembatan aneh, tangkis laut dan istilah-istilah lainnya. 
Giliran rombongan keduapun tiba. Saya bergegas melompat ke atas perahu. Setelah mesin dihidupkan, perahu ini melesat dengan cepat. Wajar saja, bodinya ringan karena terbuat dari fiber. Setelah hampir 30 menit, sang “kapten” perahu menunjuk sebuah tanjung berbukit yang tidak jauh lagi. “di balik tanjung itu posisinya”, saya mengangguk antusias. Melewati tanjung itu, perahu kemudian berbelok kanan dengan pelan. Benar, batu-batu yang membuat kehebohan itu ada di sana. Memanjang mengikuti garis pantai. Perahu bergerak pelan berhati-hati terhadap batu karang di perairan dangkal. Di balik batu-batu itu, dua perahu ukuran besar sudah terparkir, dan sepertinya perahu yang lebih besar terdampar dan tidak bisa bergerak. Puluhan muda mudi berenang, ada juga yang tetap di atas perahu, dan sebagian yang lainnya “jalan-jalan” di atas tangkis laut itu.
 Tepat jam 14.20 kami turun dari atas perahu dan menginjakkan kaki di atas tangkis laut itu. Saya tidak bisa membendung rasa penasaran. Mengabaikan wanti-wanti nenek via telpon sebelum berangkat agar jangan pernah menginjakkan kaki di atas tangkis laut itu. Katanya, bisa saja batuan itu ambrol dan saya bisa ditelan oleh laut. Nenek mendengar cerita tentang tangkis laut ini versi mistisnya dari kabar mulut ke mulut. Tapi aku pikir itu tak lebih bentuk kasih sayang dan kekwatiran sebagai orang tua.   
Karena rasa penasaran stadium empat, hal pertama yang saya lakukan di tempat itu adalah menyentuh pasir dan bebatuan yang tinggi-tumpukannya sekitar tiga meter di atas permukaan air itu. Pasirnya tidak halus sebagaimana pasir pantai pada umumnya yang saya lihat dan rasakan seperti di pantai Lombang atau Slopeng. Pasir di sini lebih mirip kerikil-kerikil kecil. Bentuknya beragam, kebanyakan batang memanjang, ada yang bulat, oval dan jenis serta bentuk lainnya. Bahkan ada yang menghampar dengan kontur yang khas. Ada juga yang berbentuk seperti karton telur. Unik. Warna bebatuan didominasi warna putih cerah, bahkan ada yang mengkilap. Saya menduga bahwa batuan-batuan kecil ini berasal dari koral atau terumbu karang yang entah bagaimana caranya terhempas dan hancur dari kedalaman laut atau pinggir pantai lalu menumpuk membentuk tangkis laut, yang menurut perkiraan sepanjang kurang lebih dua kilometer.
Disamping batuan-batuan kecil, ada juga batu-batu besar. Bahkan ada yang sangat besar. Bentuknya seperti batu karang biasa. Jika diamati dengan mata telanjang, ada perbedaan posisi penempatan batu-batu itu. Batu-batu kecil berada di sisi yang menghadap ke pantai. Sementara batu-batu besar menghadap lautan lepas. Sehingga seolah-olah batu-batu besar itu menahan batu-batu kecil agar tidak terbawa arus ke tengah laut atau terhempas ke arah pantai--perlu diketahui, menurut cerita penduduk setempat ombak di sekitar tangkis laut itu relatif besar dibanding dengan yang lain. Disamping itu, batu-batu kecil penempatannya lebih teratur dan rata. Sementara batu-batu yang besar tidak beraturan. Salah satu teman mencoba mengukur lebar tangkis laut itu, pada titik terlebar didapat angka kurang lebih 15-20 meter.
Hal menarik lainnya, di atas tangkis laut itu, telah berdiri dua buah warung yang menjual makanan dan minuman ringan. Penduduk sekitar jeli memanfaatkan banyaknya masyarakat yang datang sebagai peluang bisnis. Disamping itu, jasa antar jemput perahu menjamur. Perahu yang biasanya dipakai untuk mencari ikan, kini bisa dimanfaatkan untuk pekerjaan sampingan antar jemput masyarakat yang penasaran terhadap tangkis laut itu. Pada hari minggu atau hari-hari libur sekolah, banyak masyarakat yang datang mengobati penasaran sambil menyegarkan pikiran dari kesibukan pekerjaan sehari-hari. 
Pada gundukan yang agak tinggi di sisi barat, terpancang bendera merah putih berkibar-kibar ditiup angin. Beberapa muda-mudi mengambil gambar dengan kamera ponsel. Beberapa yang lainnya merekam video. Saya berfikir bagaimana tangkis laut sepanjang dua kilometer ini bisa tercipta dalam satu malam. Dengan banyak bebatuan yang besar pula. Seorang teman dengan nada bercanda, ‘’siapa pemborong tangkis laut ini?”. Dalam hati saya menimpali, siapapun yang memborong pekerjaan tangkis laut ini pasti tidak ada korupsi di dalamnya.
Bersama dengan Matha, penampakan tangkis laut misterius

Wednesday 13 October 2010

Salah Paham Bahasa Kangean

BIRULANGIT-Masyarakat Pulau Kangean memiliki kekhasan tersendiri, khusunya dalam penggunaan bahasa yg relatif berbeda dengan bahasa Madura pada kebanyak dialek dan arti. Bahkan bisa dibilang masyarakat Kangean memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Kangean. Menurut cerita yang saya dengar, bahasa Kangean merupakan perpaduan bahasa Madura asli dengan bahasa Bugis serta dipengaruhi unsur bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
***
Suatu ketika, seorang guru asal Sumenep yang baru saja bertugas di Kangean indekos di salah satu rumah warga, tepatnya di Dusun Arkokap Desa Temur Janjang Kec. Kangayan. Guru tersebut ditawari nasi sukun oleh salah satu tetangganya, dan terjadilah percakapan berikut:
''pak, mau nasi sukun?'' kata si ibu
''napa, bu?'' rupanya si bapak kurang mendengar.
''nasi sukun... ende'?!'' si ibu meninggikan suaranya hingga satu oktaf lebih
''ende'lah'' kata si guru pede menirukan dialek si ibu.
Karena yakin akan diberi nasi sukun sama tetangganya tersebut si guru mengambil keputusan strategis untuk tidak perlu menanak lagi hari itu. Hitung-hitung bisa berhemat, pikirnya. Apalgi si guru merupakan guru yang baru diangkat yang gajinya tidak seberapa.
Walhasil, menunggulah si guru akan kiriman nasi sukun dr tetangganya tersebut. Menit berlalu, bahkan jam jam jg telah berlalu. Perut kian keroncongan sementara nasi sukun belum juga datang. Sebentar-sebentar dia mengintip ke rumah tetangganya yang kebetulan di depannya dari balik jendela. Berharap si tetangga keluar dg sepiring nasi sukun yang masih mengepul hangat.
Sementara itu, di dalam rumah si tetangga:
''pak guru yang baru g mau ma nasi sukun'' kata si ibu sama suaminya
''yah, maklum lah bu namanya juga guru, pasti g mau makan nasi sukun....''
***
Usut punya usut, ternyata pengertian ende' dalam bahasa Kangean dan Madura Sumenep merupakan satu kata yang memiliki arti berlawanan.
Ende' (Kangean): TIDAK MAU
Ende' (Madura Smp): MAU

Monday 1 June 2009

TENTANG DIA

Aku memasukkan Honda Jazz kakak iparku ke dalam garasi, orang yang duduk di samping berselimutkan jaket hitam nampak menggigil karena air hujan. Aku pandangi wajahnya dengan senyum iba, lalu pandanganku beralih pada jaket yang nampaknya made in luar negeri itu.
“turun, sudah nyampe….”
Aku lihat tatapannya kosong. Wajahnya menampilkan arakan mendung. Padahal, hujan sendiri sudah hampir reda. Aku beranjak turun lebih dulu. Bergegas membukakan pintu mobil agar ia bisa segera turun dan berganti pakaian.
“lho! ayo turun, dek….”
Dia masih saja duduk dan tatapan matanya kosong. Aku raih tangannya agar ia mau turun. Dia tetap saja diam tapi tidak menolak ketika aku bimbing untuk turun. Aku memandu dia untuk masuk rumah—rumah bakal mertuaku. Kurasakan tangannya dingin sekali. Aku ambilkan pakaian dari lemari dan aku tinggalkan dia di kamar agar segera berganti baju.
5 menit berlalu, aku kembali masuk kamar. Ternyata, masih saja dia mematung. Kali ini pandangannya tertuju pada lukisan seseorang dengan latar belakang gerimis yang aku print dari internet beberapa waktu yang lalu.
“lho, kok belum ganti pakaian juga sih? Kamu tuh kedinginan. Cepat ganti pakaian,” Aku ambil jaket yang menyelimutinya, dan melemparkan jaket itu ke dalam keranjang pakaian kotor yang terletak di pojok ruang dekat tempat sampah. “apa perlu kakak yang bantu agar bisa ganti baju?” aku menggodannya.Godaanku sukses menyadarkan dia. Dia beranjak mengambil pakaian yang tadi aku siapkan dan bergegas masuk kamar mandi. Aku menghela nafas berat. Aku merebahkan tubuhku begitu saja di atas springbed. Di kepalaku sedang bergumul beribu pertanyaan tentang jaket hitam yang kini ada di keranjang itu.
“Ah kenapa tidak aku masukkan ke tempat sampah saja tadi…..” lirihku mencoba menetralkan bahan kimia berbahaya yang menyembur memenuhi saraf-saraf kepalaku.
***
“kamu menemui cinta pertamamu?” ini adalah pertanyaan ke lima dari daftar perntanyaanku. Hari ini adalah hari ke 15 pasca hujan dengan jaket hitam yang kini aku sudah tidak tau ada di mana jaket itu berada. Mungkin saja sudah dibuang, atau malah disimpan di dalam lemari. Aku sungguh tidak mengetahuinya. Tempat ini adalah taman yang sama, taman dimana 15 hari yang lalu, aku disuruh kakak ipar untuk menjemput dan menyelamatkan dari hujan yang digemarinya tapi seringkali membuatnya sakit.
Sebelum ngobrol tentang tema yang telah aku ajukan lebih dulu, aku memesan es teler kesukaannya seharga dua ribu perak. Aku pesan tiga. Untukku, untuknya. Satu lagi aku siapkan, mungkin saja diantara kami ada yang kurang.
“Adek siap membicarakan masalah ini dengan Mas?”
“yut!” Katanya dengan dialek daerahnya yang kental.
“Kita mulai dari mana?”
“Terserah mas saja, ini kan inisiatif, Mas. Aku nginkut aja.”
“Kamu yakin aku ini tunangannmu?”
“Tentu saja, kenapa tanya itu…?”
“Em… aku pikir gak ada salahnya bertanya, kan?”
“Ya!”
“Kamu menemui cinta pertamamu?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu tidak merasa berasalah sama mas?”
“ Aku tidak ngapa-ngapain dengan dia, tidak kangen-kangenan, dan tidak yang lainnya.”
“Kamu yakin?”
“yakin! Sangat yakin!”
“Tapi aku tersinggung.”
‘Cemburu maksudnya?”
“Entahlahlah! Tapi aku tidak suka itu.”
‘Apa alasannya?”
“Apa perlu aku mengajukan alasan untuk masalah seperti ini?”
“Ya, jika mas mau.”
“boleh balik tanya?”
“………”
“Kenapa juga kamu tidak suka ketika aku chat dengan Irma. Kamu bisa menjawabnya. Dan, jawabanmu adalah jawabanku juga.”
“………”
“Satu lagi, apa kamu membicarakan masa kisah cintamu yang dulu dengan cinta pertamamu itu?”
“ya.”
“untuk apa?”
“tidak untuk apa-apa, hanya gak ada topik yang lain lagi untuk dibicarakan.”
“itu yang paling tidak aku sukai! Aku kecewa dengan hal itu.”
“Aku salah. aku minta maaf.”
“Mungkin bagimu ini masalah klise dan akan selesai dengan maaf. Tapi, tidak bagiku. Ini masalah prinsip dan komitmen. Jika kamu menafikan dua hal itu, apa artinya hubunan ini?”
“Aku pikir kisah cinta pertama kita berbeda. Jadi…”
“Jadi, jika berbeda kamu bisa seenaknya membicarakan hal yang aku benci. Aku juga punya cinta pertama, bahkan cinta kedua. Tapi, aku tidak pernah mengungkit-ungkit untuk jadi bahan obrolan dengan orangnya. Karena, sekali lagi, ini menyangkut komitmen, menyangkut perasaan. Dan aku menghormati perasaanmu. Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa perasaan itu halus. Kalau mau, aku bisa saja melakukan hal yang serupa, atau lebih. Tapi, aku tidak melakukannya. Kamu tau alasannya kenapa…………..?”
“……….”
“Tolong jangan menangis. Aku tidak bisa menyelesaikan masalah ini dengan tangisan. Karena aku akan iba dan akan melupakan subtansinya. Aku tidak mau kejadian ini terjadi lagi selama kita tunangan dan seterusnya.”
“maafkan adek…..”
“Aku tidak melarang kamu berkomunikasi dengan siapapun. Asal saja hal itu tidak menginjak-nginjak perasaanku dan yang paling penting kehortamatan pertunangan kita, nilai sucinya, dan pengorbanan yang telah kamu dan aku lakukan.”
“Adek salah…”
“Tolong berhenti menilai salah atau benar. Tidak penting apa masalah ini benar atau salah. Sebab, mestinya sebuah hubungan tidak didasarkan pada benar dan salah. Tapi, pantas tidak pantas. Etis tidak etis. Jika benar atau salah menjadi landasan, maka, ketika kita berbuat salah, aka kita akan mencari pembenaran. Mencari dalil legalitas. Dan hal itu sama sekali tidak sehat dalam sebuah ikatan. Termasuk ikatan pertunangan. Kurang apa aku selama ini? Jika kamu bilang aku sabar dan selalu ada untukmu. Mungkin, tak semuanya benar. Semua pasti ada titik nadirnya. Ada titik jenuhnya. Aku tau apa yang kau bincangkan dengan cinta pertamamu itu. Dan itu sungguh-sungguh menyakitiku. Menyakiti perasaanku untuk yang kesekian kali. Mungkin aku terlalu posesif. Tapi, aku tau bahwa menyayangimu tak selamanya harus kejam terhadap perasaanku. Mungkin, selama ini yang aku tampilkan adalah sosok terhalus yang aku miliki. Tapi, tolong disadari, aku juga punya sisi lainnya. Aku akui aku egois, pemarah, temperament, mudah tersinggung, sensitif, dan sifat jelek lainnya. Aku pikir, tidak ada salahnya kita introspeksi. Aku ingin kamu memikirkan tentang semuanya. Jangan bertanya aku ragu atau apa.”
Itu adalah kalimat panjang yang keluar begitu saja dari mulutku. Entah, mengapa aku bisa sampai mengeluarkannya, apalagi aku rasa cukup pedas. Pedas untuk ukuran orang yang sedang aku pandangi tangis pecah air matanya. Aku memang tidak bisa melihatnya menangis. Tapi, kali ini aku harus tegas meluruskannya. Minimal mengeluarkan gumulan kata-kata yang memenuhi batok kepalaku.
“Terkadang aku ingin putus saja darimu jika saja ……”
“Kakak…..!!!” dia beranjak dari tempat duduknya dan menghambur memelukku. Dia memangilku dengan panggilan Kakak. Oya, Sebelum orang ini aku pertunangkan aku memposisikan dia sebagai adik, dan dia memposisikan aku sebagai kakaknya.
Dia sesengukan sambil menguncang-guncang tubuhku. Tumpahan air matanya membasahi baju liris hijau hadiah darinya waktu aku ultah kemarin.
“jangan keluarkan kata-kata itu!!!!!” dia sesengukan dan menyembunyikan wajahnya di dadaku.
Aku luluh.
“Alek, mohon maaf…..” kembali dia menggunakan panggilan lama untuk dirinya yang membuat hatiku teriris-iris.
Aku sadar sepenuhnya kata-kata putus hanya shock terapi baginya.
Aku tidak tau apa aku harus melepaskan pelukan ini. Karena di samping dia belum halal, orang-orang di taman ini mulai menjadikan kami tontonan.
Setelah sekian lama dia terisak, aku usap air matanya yang membuat kelopaknya sembab. “Pulang, ya?” dia menjawab dengan anggukan kecil.
Tak lama lagi, matahari segera masuk ke peraduannya. Aku mengayuh sepeda ontel polygon-ku. Di belakangku, membonceng seorang gadis manying dengan mata sembab, menyeruput es teler bungkus plastik ketiga. Tubuhnya terguncang-guncang karena aku sengaja lewat jalan yang tidak rata. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari corong pengeras suara di masjid. Aku mempercepat kayuhan sepdea agar segera bisa memenuhi panggilan adzan. Akan aku adukan pada-Nya cerita di sore ini.

Sunday 15 February 2009

TRUE LOVER OR...


Jika kamu suka seseorang karena dia tampan, cantik, tampilan fisiknya, alias tampangnya, maka itu bukan CINTA tapi NAFSU;
Jika kamu suka seseorang karena dia pintar atau intelek itu bukan CINTA tapi KAGUM;
Jika kamu suka seseorang karena dia baik hati, pemurah, penolong, dan selalu ada untukmu itu bukan CINTA tapi TERIMA KASIH;
Jika kamu suka seseorang karena dia tajir, beruang, kaya, dst itu bukan CINTA tapi MATRE;
TAPI,
Jika kamu suka seseorang padahal kamu tidak tau alasannya mengapa kamu suka, maka itulah CINTA yang sebenarnya.

(diforward dari pesan singkat teman, ilustrasi gambar diunduh dari http://s3.amazonaws.com/giles/true_love_aww.jpg)